Menggarap Tanah Orang Lain
Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran islam dan banyak dijumpai di masyarakat luas. Dan kita mengetahui manfaatnya yang besar bagi kedua pihak, kedua pihak mendapatkan keuntungan dari kerjasama ini. Menggarap tanah dalam ajaran islam dikenal dengan istilah muzara’ah.
Menurut bahasa, kata muzara'ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya . Muzara’ah ialah seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah tersebut. (misalnya sepertiganya atau separuhnya).Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Muzara’ah diperbolehkan oleh sebagian besar para sahabat rodhiyallohu ‘anhum, tabi’in dan para imam serta tidak diperbolehkan oleh sebagian yang lain. Dalil orang-orang yang membolehkannya adalah muamalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan penduduk khaibar. Imam bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma bahwa Rosululloh mempekerjakan orang-orang khaibar di tanah khaibar dan mereka mendapatkan separuh dari tanaman atau buah-buahan yang dihasilkannya. Adapun dalil yang melarang muzara’ah mereka tafsirkan bahwa larangan tidak bolehnya akad muzara’ah itu karena dengan sesuatu yang tidak diketahui atau tidak jelas. Ini karena mereka berhujjah dengan hadits Rafi’ bin Khadij rodhiyallohu ‘anhu berkata:
كُنَّا أَكْثَرَ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ حَقْلاً وَ كَانَ أَحَدُنَا يُكْرِيْ أَرْضَهُ, فَيَقُوْلُ: هَذِهِ الْقَطِيْعَةُ لِيْ وَ هَذِهِ لَكَ, فَرُبَّمَا أَخْرَجَتْ ذِهْ وَ لَمْ تَخْرُجْ ذِهْ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
“Kami adalah penduduk anshar yang paling banyak kebunnya, ada salah seorang dari kami menyewakan tanahnya, kemudian dia berkata: ‘sebidang tanah ini untukku dan sebidang tanah ini untukmu’, maka terkadang satu bidang mengeluarkan tanaman(berhasil) dan sebidang yang lain tidak mengeluarkan tanaman (gagal), maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang mereka.”
Ataupun larangan tersebut berarti makruh yang tidak sampai kederajat haram berdasarkan ucapan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:
أن النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَمْ يَنْهَ عَنْهُ وَ لاَكِنْ قَالَ: أَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مَعْلُوْمًا
“Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya hanya saja beliau bersabda: “Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya daripada ia mengambil imbalan tertentu.”
Dalil diberbolehkannya muzara’ah adalah:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرٍ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
“Dari Ibnu Umar rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.”
Berkata Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam menyebutkan pelajaran yang dapat diambil dari hadits diatas:
1. Bolehnya muzara’ah dan Musaqat dengan bagian dari apa yang tumbuh dari tanah tersebut baik berupa tanaman dan buah.
2. Dari zhahir hadits, tidak disaratkan benih dari pemilik tanah, dan ini adalah yang benar.
Jadi muzara’ah adalah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang ada dan diamalkan oleh salafush shalih.
Berkata Imam Bukhari rohimahulloh: berkata Qais bin Muslim dari Abu Ja’far, dia berkata: “Tidaklah di Madinah kaum Anshar melainkan mereka menanam dengan bagian sepertiga atau seperempat. Dan adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, mereka melakukan muzara’ah.
Mengenai benih tanaman bisa dari pemilik tanah maka ini dinamakan muzara’ah, dan boleh benih berasal dari penggarap dan ini disebut mukhabarah. Berkata Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi: “Tidak mengapa benih berasal dari pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari keduanya, dalilnya; berkata Imam Bukhari rohimahulloh: Umar ra memperkerjakan orang-orang, jika benih dari Umar maka bagiannya setengah, dan jika benih berasal dari mereka maka bagian mereka adalah seperti itu (setengah). Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak mengapa jika tanah itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama maka apa yang keluar (tumbuh) untuk keduanya, dan Az-zuhri berpendapat demikian.
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Diantara hukum-hukum muzara’ah adalah sebagai berikut:
1. Masa muzara’ah harus ditentukan misalnya satu tahun.
2. Bagian yang disepakati dari ukurannya harus diketahui, misalnya setengah, sepertiga atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah tersebut. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya: “Engkau berhak atas apa yang tumbuh ditempat ini dan tidak ditempat yang lainnya.” Maka hal ini tidak sah.
3. Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit sebelum dibagi hasilnya kemudian sisanya dibagi antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai dengan syarat pembaginnya maka muzara’ah tidak sah.
Seorang muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan kepada saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.”
Juga sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
أَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مَعْلُوْمًا
“Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya daripada ia mengambil imbalan tertentu.”
Apa yang tidak boleh dalam muzara’ah:
Dalam penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas seperti pemilik tanah mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sini, dan penggarap mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena hasilnya belum ada, bisa jadi bagian tanaman dari tanah sebelah sini yaitu untuk pemilik tanah bagus dan bagian tanaman penggarap gagal panen ataupun sebaliknya. Dan bila keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah satu pihak dirugikan. Padahal muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus menanggung keuntungan maupun kerugian bersama-sama.
Ataupun bisa terjadi pemilik tanah memilih bagiannya dari tanah yang dekat dengan saluran air, tanah yang subur, sementara yang penggarap mendapat sisanya. Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan, kezhaliman dan ketidakjelasan. Tetapi dalam dalam muzaraah harus disepakati pembagian dari hasil tanah tersebut secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan bagian separuh dari hasil tanah dan penggarap mendapat setengah bagian juga, kemudian setelah ditanami dan dipanen ternyata rugi maka hasilnya dibagi dua, begitu juga bila hasilnya untung maka harus dibagi dua. Dan pada kasus ini ada kejelasan pembagian hasil, dan ini diperbolehkan.
Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Dan tidak boleh muzaraah dengan syarat sebidang tanah ini untuk pemilik tanah dan sebidang tanah yang ini untuk penggarap. Sebagaimana tidak boleh pemilik tanah berkata bagianku dari tanah ini adalah sejumlah berapa wasak.
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ.
.
“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi r dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَ الْوَرِقِ, فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِهِ, إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُوْنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَ أَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ, وَ أَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ, فَيَهْلِكُ هَذَا وَ يَسْلَمُ هَذَا, وَ يَسْلَمُ هَذَا وَ يَهْلِكُ هَذَا, وَ لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا, فَلِذَلِكَ زَجَرَ عَنْهُ, فَأَمَّا شَيْءٌ مَعْلُوْمٌ مَضْمُوْنٌ فَلاَ بَأْسَ بِهِ.
”Dari Hanzhalah bin Qais, dia berkata, aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij mengenai penyewaan tanah dengan emas dan perak, kemudian dia menjawab, tidak apa-apa. Sesungguhnya orang-orang pada zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyewakan tanah dengan imbalan apa yang tumbuh di saluran air dan parit, dan berupa aneka tanaman. Kemudian terkadang tanaman ini rusak dan itu selamat, terkadang juga tanaman ini selamat dan tanaman itu rusak, sedangkan orang-orang tidak mempunyai sewaan kecuali itu, oleh karena itu Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Adapun sesutu (imbalan) yang jelas diketahui dan terjamin maka tidak apa-apa.
Dari dua hadits yang ada menggunakan lafadz menyewakan tanah namun menyewakan tanah yang dilarang pada hadits tersebut adalah muzaraah (menggarap tanah), karena imbalan yang disepakati adalah dari hasil tanah tersebut dan ini dinamakan muzaraah. Sedangkan apabila imbalannya berupa emas, perak, uang ataupun selain dari hasil tanah tersebut maka ini disebut penyewaan tanah. Pelarangan muzaraah pada hadits di atas juga tidak secara mutlak, karena sebenarnya muzaraah diperbolehkan sebab nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sendiri mengamalkan muzaraah dan juga salafus shalih. Namun pelarang muzaraah pada hadits di atas karena tidak adanya pembagian hasil yang jelas. Maka haruslah bagi orang yang akan melakukan akad muzaraah harus menentukan pembagian hasil tanah dengan jelas seperti menentukan separuh, sepertiga atau seperempat dari hasil tanaman yang dihasilkan untuk penggarap dan untuk pemilik tanah karena muzaraah adalah kerja sama (persekutuan), dan yang namanya kerja sama keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama.
Kesimpulannya bahwa menggarap tanah adalah termasuk akad kerjasama (persekutuan/syirkah) yang harus jelas pembagian hasilnya seperti separuh, sepertiga atau seperempat atau bagian yang tertentu dari hasil tanaman yang diperoleh, sehingga apabila mengalami kerugian ataupun keberhasilan ditanggung bersama karena pembagiannya hasil tanaman yang dihasilkan tanah tersebut. Dan menggarap tanah hukumnya dibolehkan.
Daftar Pustaka: Ensiklopedi Muslim, Taisirul ‘Alam jilid, Shahihul Bukhari , Al Wajiz ,
No comments:
Post a Comment